My University

Senin, 29 November 2010

Tradisi Sekaten di Yogyakarta

TRADISI sekaten adalah simbol kebersamaan antara petinggi, yang diidentikan dengan keraton dan rakyatnya. Tradisi sekaten juga bisa menjadi panutan bagi pengembangan dan eksistensi ekonomi kerakyatan seperti yang telah diakui oleh pemerintah.
Sayangnya secara pelan tapi pasti sekaten makin tergusur oleh modernitas kekinian yang sarat dengan nuansa kapitalis dan digitalisasi dalam semua sendi perikehidupan.
Memang diakui sampai kini tradisi sekaten masih ada dan akan terus ada, namun sarat makna yang terkandung dalam tradisi sekaten itu sendiri sudah luntur.
Problem modernitas dan juga kemajukan di balik tradisi sekaten memang tidak bisa lagi dicegah. Oleh karena itu perlu ada upaya konstruktif agar tradisi sekaten tetap bisa abadi, tanpa harus tertinggal oleh modernitas kekinian dan yang terpenting yaitu nilai-nilai luhur dan filosofis kejawen dibalik tradisi sekaten tidak mati.
Hal ini memang tidak mudah sebab ada banyak kepentingan di balik tradisi sekaten, yaitu mulai dari kepentingan sosial - ekonomi sampai kepentingan budaya ñ modernitas.
Selain itu kepentingan religi juga menjadi starting point di balik tradisi sekaten yang tidak boleh mati dan atau dimatikan oleh siapa pun.
Yogyakarta, sebuah provinsi yang bergelar Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebuah wilayah di bumi Merah Putih Indonesia yang masih menjunjung tinggi budaya dan tradisi Jawa. Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar, dimana para pemuda dan pemudi penerus generasi bangsa menuntut ilmu. Yogyakarta, sebuah ibukota provinsi yang bergelar Daerah Istimewa. Selain itu Yogyakarta juga disebut sebagai kota budaya yang masih kental dengan aspek – aspek budaya khasnya. Di tengah zaman modernisasi ini, Kasultanan Yogyakarta, yang juga berwujud sebagai pemerintahan tetap menggelar sebuah ritual dan tradisi.
Di Yogyakarta ada sebuah budaya yang hingga saat ini masih terus dilestarikan yaitu Sekaten. Diselenggarakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang lahir pada tanggal 12 Maulud atau Mulud dalam bulan ketiga tahun Jawa. Diadakan pada tangal 6 hingga 12 pada bulan yang sama. Perayaan sekaten meliputi “Sekaten Sepisan” dan ditutup dengan “Grebeg” di halaman Masjid Agung Yogyakarta atau sering disebut sebagai Masjid Gedhe Kauman. Sekaten adalah simbol kebersamaan yang diidentikkan dengan kraton dan rakyatnya.
Kata Sekaten diambil dari pengucapan kalimat “Syahadat”. Istilah Syahadat, yang diucapkan sebagai Syahadatain ini kemudian berangsur- angsur berubah dalam pengucapannya, sehingga menjadi Syakatain dan pada akhirnya menjadi istilah “Sekaten” hingga sekarang. Namun dalam asal usulnya selain syahadatain, kata sekaten juga diambil dari beberapa kata lain.


ASAL USUL SEKATEN
Dimulai dari zaman Kerajaan Demak, yaitu kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yang berdiri setelah Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Berakhirnya Kerajaan Majapahit maka berakhir pula kerajaan Hindu di Jawa di bawah pemerintahan Prabu Brawijaya V. Raja Demak yang pertama adalah Raden Patah yang bergelar Sultan Bintara. Sebagai Raja Islam, Raden Patah selalu berupaya untuk menyiarkan Agama Islam ke seluruh pelosok negeri. Namun masyarakat kebanyakan sudah melekat dengan ajaran Hindu sehingga Raden Patah berupaya untuk mengajak masyarakat untuk masuk Islam dan meyakini akan kebenaran Agama Islam. Kemudian Raden Patah pun mengadakan pertemuan dengan para Wali Songo, diantaranya adalah Sunan Ampel, Sunan Gresik, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat dan Sunan Gunung Jati. Pertemuan anatar Raden Patah dan Wali Songo tersebut membahas tentang bagaimana menyebarkan ajaran Islam dimulai dari tanah Jawa. Dari pertemuan tersebut Sunan Kalijaga memiliki usul tentang cara penyebaran Agama Islam agar diterima oleh masyarakat yang sejak dahulu sudah memeluk Agama Hindu. Sunan Kalijaga mengusulkan agar masyarakat dibiarkan tetap melaksanakan adat atau Agama Hindu, namun dilakukan beberapa perubahan agar sesuai dengan syari’at ajaran Islam contohnya seperti : 
1.Semedi
Semedi dalam agama Hindu mempunyai maksud memuja kepada dewa – dewa. Karena Agama Islam tidak mengenal dewa, maka hal ini digantikan dengan memuja Allah SWT dengan melakukan shalat yang merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
2. Sesaji
Sesaji menurut Agama Hindu mempunyai maksud nenberi makanan kepada dewa – dewa dan jin. Agar sesuai dengan syari’at Islam yang sudah tertulis dalam Al – Quran, maka digantikan dengan zakat fitrah kepada fakir miskin.
3. Keramaian
Dalam agama Hindu keramain mempunyai maksud menghormati kepada dewa – dewa. Keramaian kemudian digantikan dengan menghormati hari – hari raya Islam.
Karena orang Jawa menyukai seni musik atau dalam hal ini yaitu gamelan, maka penghormatan terhadap Hari Raya Islam diberikan unsure gamelan. Salah satunya yaitu pada   hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Di dalam masjid diadakan tabuh gamelan, agar orang-orang tertarik. Jika sudah berkumpul kemudian diberikan pelajaran tentang agama Islam. Dan untuk keperluan itu, para Wali menciptakan seperangkat gamelan yang dinamakan Kyai Sekati.
Usul dari Sunan Kalijaga tersebut disepakati oleh Wali Songo dan Raden Patah, yaitu memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW tanggal 12 Mulud dengan unsure gamelan. Pada hari tersebut, di dalam masjid diadakan gamelan. Ternyata banyak masyarakat yang tertarik untuk datang ke masjid dan melihat gamelan. Selain rakyat, para bupati juga datang ke kerajaan untuk memberikan penghormatan kepada raja. Mereka datang beberapa hari sebelum tanggal 12 Mulud dan membuat rumah (tenda – tenda) di alun – alun untuk bermalam. Bupati menghadap raja dan kemudian beserta para rakyatnya menggiring raja ke masjid. Karena hal tersebut maka tibul kata “Garebeg” yang berasal dari kata “Anggrubyung” yang berarti menggiring atau berkerumun.
Orang – orang yang datang ke halaman masjid pun diminta untuk mendengarkan pidato – pidato tentang ajaran Agama Islam. Pidato itu berisi tentang dasar – dasar ajaran Agama Islam seperti bunyi kalimat syahadat serta maksud dan tujuan kalimat tersebut. Kalimat syahadat merupakan kalimat yang dibaca seseorang ketika masuk Islam dan juga untuk mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT. Kalimat syahadat juga ditulis di pintu gerbang masjid. Karena banyaknya orang yang datang dan bermalam di alun – alun, maka banyak pula orang yang berjualan di sekitar alun – alun. Sekaten selain berasal dari kata syahadatain juga berasal dari beberapa kata yaitu :
1. Sahutain yang berarti menghentikan atau menghindari dua perkara yaitu sifat lacur dan menyeleweng.
2. Sakhatain yang berarti menghilangkan dua perkara yaitu sifat hewan dan sifat setan yang melambangkan kerusakan.
3. Sakhotain yang berarti menanamkan dua perkara yaitu memelihara budi luhur dan menyembah Tuhan.
4. Sekati yang berarti setimbang dalam menilai hal – hal yang baik dengan yang buruk.
5. Sekat yang berati batas untuk tidak berbuat kejahatan yaitu tahu dimana batas kebaikan dengan kejahatan.
Tradisi ini terus dilestarikan oleh raja – raja yang memerintah pada masa berikutnya hingga masa Kerajaan Mataram. Pada zaman Kerajaan Mataram hingga pindah ke Yogyakarta dan Surakarta, sekaten ini diadakan untuk kepentingan politik dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar kesetiaan para bupati yang ada di wilayah kerajaan. Saat perayaan sekaten bupati harus datang dengan menyerahkan upeti dan memperlihatkan rasa hormatnya kepada raja. Apabila bupati berhalangan hadir maka harus diwakilkan oleh pihak kerajaan. Apabila bupati yang berhalangan hadir tidak diwakilkan maka hal tersebut dianggap sebagai bentuk pembangkangan terhadap raja.
Pada masa Kerajaan Mataram selain untuk tujuan memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW dan kepentingan politik kerajaan, sekaten diadakan untuk menunjukkan bahwa raja yang berkuasa masih memiliki hubungan dengan Nabi Muhammad SAW. Selain itu, sekaten juga memiliki peran dalam ekonomi karena dengan adanya perkembangan zaman, sekaten kemudian dimanfaatkan dalam sektor perdagangan. Sekaten dijadikan sebagai lahan untuk berdagang oleh masyarakat selain untuk mendengarkan gamelan.

SEKATEN
Di kalangan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, muncul keyakinan bahwa dengan mengikuti sekaten maka akan mendapat pahala dan dianugerahi awet muda. Pada hari pertama, sebagai syarat, salah satu ritual yang dilakukan masyarakat adalah dengan mengunyah siri di halaman Masjid Gedhe. Oleh karena itu banyak masyarakat yang memanfaatkan hal ini untuk berjualan sirih dan ramuan – ramuan lainnya di halaman Masjid Gedhe. Untuk kalangan petani, sekaten dijadikan kesempatan untuk memohon agar panennya berhasil .
Sebelum sekaten dilaksanakan, diadakan upacara dengan dua persiapan yaitu fisik dan spiritual. Persiapan fisik yaitu berupa peralatan dan perlengkapan upacara sekaten, seperti :
1. Gamelan Sekaten
Adalah benda pusaka Kraton yang disebut Kanjeng Kyai Sekati yang memiliki dua perangkat yaitu Kanjeng Kyai Nogowilogo dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan sekaten tersebut di buat oleh Sunan Bonang yang memiliki keahlian di bidang karawitan dan disebut – sebut sebagai gamelan dengan laras pelog yang pertama kali dibuat. Alat pemukul gamelan tersebut terbuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau.
2. Gendhing Sekaten
Merupakan serangakaian lagu gendhing. Beberapa diantaranya yaitu Rambut pathet lima, Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur – Atur pathet nem, Andhong – Andhong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung pathet lima, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet nem, Muru Putih, Orang – Aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet lima, Supiatun pathet barang dan Srundeng Gosong pelog pathet barang.
Selain itu juga terdapat perlengkapan – perlengkapan lainnya seperti uang logam, Bunga Kanthil, busana seragam sekaten dan perlengkapan lainnya serta naskah riwayat Nabi Muhammad SAW.
Untuk persiapan spiritual, dilakukan beberapa saat sebelum upacara sekaten. Para abdi dalem Kraton Yogyakarta yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara mempersiapkan mental dan batin untuk mengemban tugas sakral tersebut. Terutama para abdi dalem yang bertugas memukul Gamelan Sekaten, mereka mensucikan diri dengan berpuasa dan siram jamas.
Sekaten dimulai pada tanggal 6 Maulud saat sore hari dengan mengeluarkan gamelan Kenjeng Kyai Sekati dari tempat penyimpanannya. Kanjeng Kyai Nogowilogo ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit ditugaskan menjaga gamelan pusaka tersebut yaitu prajurit Mantrirejo dan prajurit Ketanggung.
Setelah waktu Shalat Isya’, para abdi dalem yang bertugas di bangsal memberikan laporan kepada Sri Sultan bahwa upacara siap dimulai. Setelah mendapat perintah dari Sri Sultan melalui abdi dalem yang diutus, maka dimulailah upacara Sekaten dengan membunyikan gamelan Kanjeng Kyai Sekati.
Yang pertama dibunyikan adalah Kanjeng Kyai Guntur Madu dengan gendhing racikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Menyusul kemudian Kanjeng Kyai Nogowilogo dengan gendhing rachikan pathet gangsal, dhawah gendhing Rambu. Secara bergantian Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo dibunyikan. Di tengah gendhing, Sri Sultan datang mendekat dan gendhing dibuat lembut sampai Sri Sultan meninggalkan kedua bangsal. Sebelum itu Sri Sultan atau wakil Sri Sultan menaburkan udhik – udhik  (uang logam) di depan gerbang Danapertapa, bangsal Srimanganti dan bangsal Trajumas.
Tepat pukul 24.00 WIB, gamelan Sekaten dipindahkan ke halaman Masjid Gedhe dan dikawal oleh kedua pasukan abdi dalem prajurit Mantrirejo dan prajurit Ketanggung. Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di panggonan sebelah selatan gapura Masjid Gedhe dan Kanjeng Kyai Nogowilogo ditempatkan di panggonan sebelah utara gapura Masjid Gedhe. Di halaman masjid, Gamelan Kanjeng Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogowilogo dibunyikan terus menerus siang dan malam selama enam hari berturut – turut, kecuali pada malam Jum’at hingga selesai shalat Jum’at siang harinya.
Pada tanggal 11 Maulud mulai pukul 20.00 WIB, Sri Sultan datang ke Masjid untuk menghadiri upacara Maulud Nabi Muhammad SAW yang berupa pembacaan naskah riwayat Nabi Muhammad SAW yang dibacakan oleh Kyai Pengulu. Upacara tersebut diakhiri pada pukul 24.00 WIB. Setelah semua selesai, perangkat gamelan Sekaten dibawa kembali dari halaman Masjid Gedhe menuju Krato. Pemindahan ini merupakan tanda bahwa Sekaten telah berakhir. 

GREBEG
Grebeg menampilkan Gunungan sebagai acara utamanya. Gunungan adalah sesaji yang dibentuk kerucut. Terbuat dari beras ketan, buah – buahan, sayur – sayuran dan makanan. Gunungan ini dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju Masjid Gedhe. Setelah dido’akan Gunungan yang melambangkan kesejahteraan ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini dibawa pulang oleh mereka dan ditanam di sawah / ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.