My University

Senin, 23 Mei 2011

adat Istiadat di bali

Upacara Ngaben Bali
Ngaben adalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama sbg kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Seperti yg tulis di artikel ttg pitra yadnya, badan manusia terdiri dari badan kasar, badan halus dan karma. Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yg disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas) bayu (angin) dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atma (roh). Ketika manusia meninggal yg mati adalah badan kasar saja, atma-nya tidak. Nah ngaben adalah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan badan kasar.

Ada beberapa pendapat ttg asal kata ngaben. Ada yg mengatakan ngaben dari kata beya yg artinya bekal, ada juga yg mengatakan dari kata ngabu (menjadi abu), dll.

Dalam Hindu diyakini bahwa Dewa Brahma disamping sbg dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi ngaben adalah proses penyucian roh dgn menggunakan sarana api sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yg digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra pendeta utk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yg melekat pada atma/roh.

Upacara Ngaben atau sering pula disebut upacara Pelebon kepada orang yang meninggal dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya menuju sorga, atau menjelma kembali ke dunia melalui rienkarnasi. Karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, hal ini sering dilakukan begitu lama setelah kematian.

Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad orang yang meninggal sering dikebumikan terlebih dahulu sebelum biaya mencukupi, namun bagi beberapa keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan menyimpan jasad orang yang telah meninggal di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Selama masa penyimpanan di rumah itu, roh orang yang meninggal menjadi tidak tenang dan selalu ingin kebebasan.

Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta setelah  melalui konsultasi dan kalender yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga mempersiapkan "bade dan lembu" terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni sesuai dengan golongan  atau kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan.

Prosesi ngaben dilakukan dgn berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya sbg simbol-simbol seperti halnya ritual lain yg sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yg meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yg tidak ada jenazahnya spt orang tewas terseret arus laut dan jenazah tdk diketemukan, kecelakaan pesawat yg jenazahnya sudah hangus terbakar, atau spt saat kasus bom Bali 1 dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan.

Untuk prosesi ngaben yg jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dan mengambil sekepal tanah dilokasi meninggalnya kemudian dibakar. Banyak tahap yg dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yg berbeda-beda. Ketika ada yg meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta utk menanyakan kapan ada hari baik utk melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yg tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya.

Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), maka pihak keluarga akan menyiapkan ritual pertama yaitu nyiramin layon(memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh kalangan brahmana sbg kelompok yg karena status sosialnya mempunyai kewajiban untuk itu. Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap. Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan membuat simbol2 menggunakan kain bergambar unsur2 penyucian roh.

Pada hari H-nya, dilakukan prosesi ngaben di kuburan desa setempat. Jenazah akan dibawa menggunakan wadah, yaitu tempat jenazah yg akan diusung ke kuburan. Wadah biasanya berbentuk padma sbg simbol rumah Tuhan. Sampai dikuburan, jenazah dipindahkan dari wadah tadi ke pemalungan, yaitu tempat membakar jenazah yg terbuat dari batang pohon pisang ditumpuk berbentuk lembu.

Disini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau orang yg dianggap mampu untuk itu (biasanya dari clan brahmana). Pralinaadalah pembakaran dgn api abstrak berupa mantra peleburan kekotoran atma yg melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan pembakaran dgn menggunakan api kongkrit. Jaman sekarang sudah tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yg menggunakan angin.

Umumnya proses pembakaran dari jenazah yg utuh menjadi abu memerlukan waktu 1 jam. Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yg dilarung ke laut, karena laut adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan. Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali. Ada catatan lain yaitu utk bayi yg berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngabennya dilakukan mengikuti ngaben yg akan ada jika ada  keluarganya meninggal.

Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia berhubungan erat dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya.  Secara umum, orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi orang Bali adalah karena hubungannya dengan leluhurnya.

Setiap orang tahu bahwa di satu saat nanti dia akan menjadi leluhur juga, yang di dalam perjalannya di dunia lain harus dipercepat dan mendapatkan perhatian cukup bila sewaktu-waktu nanti kembali menjelma ke Pulau yang dicintainya, Pulau Bali.

 NGUREK
Ngurek adalah atraksi menusuk diri dengan menggunakan senjata keris, ini berlangsung ketika para pelaku berada dalam keadaan kerasukan (diluar kesadaran). Ngurek berkaitan erat dengan ritual keagamaan bahkan disejumlah desa adat di Bali tradisi ini wajib dilangsungkan. Ngurek bisa disebut juga dengan Ngunying, Ngurek merupakan wujud bakti seseorang yang dipersembahkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).
Ngurek termasuk dalam upacara Dewa Yadnya yaitu pengorbanan/persembahan suci yang tulus ihklas. Menurut ajaran agama Hindu, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia, mahluk hidup beserta isinya berdasarkan atas Yadnya, maka dengan itu manusia di harapkan dapat memelihara, mengembangkan dan mengabdikan diri nya kepada Sang Pencipta yakni Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).
Ngurek berasal dari kata ‘urek’ yang berarti lobangi atau tusuk, jadi Ngurek dapat diartikan berusaha melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan keris, tombak atau alat lainnya saat berada dalam kondisi kerasukan. Karena Ngurek dilakukan dalam kondisi kerasukan atau diluar kesadaran, maka roh lain yang masuk ketubuh akan memberi kekuatan, sehingga orang yang melakukan Ngurek ini menjadi kebal, dan ini merupakan suatu keunikan sekaligus misteri yang sulit dijelaskan.
Tradisi Ngurek tidak tahu kapan mulai dilakukan, konon ini terjadi pada jaman kejayaan kerajaan. Saat itu  sang raja ingin membuat pesta yang tujuannya untuk menunjukkan rasa syukur kepada Sang Pencipta dan sekaligus menyenangkan hati para prajuritnya. Setelah dilakukan sejumlah upacara, kemudian memasuki tahap hiburan, mulai dari sabung ayam, hingga tari-tarian yang menunjukkan kedigdayaan para prajurit, maka dari tradisi ini munculah Tari Ngurek atau Tari Ngunying.
Ngurek, menusuk diri dengan keris dalam keadaan kerasukan atau tidak sadar ini pada zamannya hanya dilakukan oleh para pemangku, namun kini orang yang melakukan Ngurek tak lagi dibedakan statusnya,bisa pemangku, penyungsung pura, anggota krama desa, tokoh masyarakat,  laki-laki dan perempuan. Tapi suasananya tetap yaitu mereka melakukannya dalam keadaan kerasukan atau trance. Kendati keris yang terhunus itu ditancapkan ketubuh, namun tidak setitikpun darah yang keluar atau terluka.
Ngurek ini biasa dilakukan di luar kompleks pura utama. Sebelum Ngurek dilakukan, biasanya Barong dan Rangda serta para pepatih yang kerasukan itu keluar dari dalam kompleks pura utama dan mengelilingi wantilan pura sebanyak 3 kali. Saat melakukan hal itulah, para pepatih mengalami titik kulminasi spiritual tertinggi.
Kerasukan dalam Ngurek, biasanya terjadi setelah melakukan proses ritual. Untuk mencapai klimaks kerasukan, mereka harus melakukan beberapa tahapan. Tahapan-tahapan tersebut secara garis besar dibagi menjadi tiga  yang terdiri dari:
1.      Nusdus adalah merangsang para pelaku ngurek dengan asap yang beraroma harum menyengat agar segera kerasukan.
  1. Masolah merupakan tahap menari dengan iringan lagu-lagu dan koor kecak atau bunyi-bunyian gamelan.
  2. Ngaluwur berarti mengembalikan pelaku ngurek pada jati dirinya
Masuknya roh kedalam diri para pengurek ini ditandai oleh keadaan: badan menggigil, gemetar, mengerang dan memekik, dengan di iringi suara gending gamelan,  para pengurek yang  kerasukan, langsung menancapkan senjata, biasanya berupa keris pada bagian tubuh di atas pusar seperti dada, dahi, bahu, leher, alis dan mata, walaupun keris tersebut ditancapkan dan ditekan kuat kuat secara berulang ulang, jangankan berdarah, tergores pun tidak kulit para pengurek tersebut, roh yang ada didalam tubuh para pengurek ini menjaga tubuh mereka agar kebal, tidak mempan dengan senjata.
Ngurek mempunyai gaya masing-masing, ada yang berdiri sembari menancapkan keris ke bagian tubuh, seperti dada atau mata, ada pula yang bersandar di pelinggih. Setelah upacara selesai, para pelaku ngurek kembali ke kompleks pura utama. 
Tradisi Ngurek ini merupakan kebiasaan masyarakat Bali, dimana saat upacara mengundang roh leluhur dilakukan, para roh diminta untuk berkenan memasuki badan orang-orang yang telah ditunjuk, dan menjadi sebuah tanda, bahwa roh-roh yang diundang telah hadir di sekitar mereka. Tradisi Ngurek juga dipercaya, untuk mengundang Ida Bhatara dan para Rencang-Nya, berkenan menerima persembahan ritual saat upacara. Jika orang-orang yang ditunjuk sudah kerasukan dan mulai Ngurek, maka masyarakat bisa mengetahui dan meyakini kalau Ida Bhatara sudah turunnya ke marcapada (dunia), maka umat yang mengikuti prosesi ritual kian mantap dengan semangat bhaktinya.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, apa pun yang kita lakukan dengan pasrah, berserah diri dan ihklas kepada Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa), maka akan mendapat anugrah dan karunia.